Thursday, November 16, 2006

"Duka Seorang Pramuwisma"

COBAAN tak pernah memilih dan memilah, karena itu milik semua manusia. Kaya miskin, pintar bodoh, semua mendapatkannya dari Tuhan Yang Mahakuasa. Hanya mungkin kaum papa akan terasa jauh lebih berat menerimanya. Selain menghadapi cobaan, mereka juga harus berjuang mencari sesuap nasi. Untuk keperluan perut saja begitu susah dicari, konon lagi bila harus ditambah cobaan yang lainnya. Namun sebagai manusia, apalah daya, selain pasrah dan berdoa. Kita yakini Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan manusia. Artinya akan datang manusia lain, ia peduli pada nasib sesamanya, yang tengah diombang-ambingkan cobaan.
**
SAYA dilahirkan sebagai seorang anak sulung dari dua bersaudara. Kata ibu, orang tua kami bercerai. Namun, ayah meninggal tak lama setelah menikah lagi. Saya tak pernah tahu semuanya, karena masih balita. Yang saya tahu, hidup kami sangat kekurangan, hingga harus puas bersekolah sampai lulus SD. Membawa sebaris nama pemberian orang tua, Asih Sediasih, saya berjalan mencari peruntungan.
Karena kondisi ekonomi ibu yang sangat kekurangan, terpaksa saya menjadi seorang pembantu rumah tangga, atau istilah sekarang pramuwisma. Ketika umur mendekati 20 tahun, ibu menikahkan saya dengan seorang pria pilihannya. Saya tak tahu arti kata cinta, apalagi yang namanya pacaran.
Hidup saya bergumul abu dapur dan busa sabun, serta pekerjaan yang rutin tiada hentinya. Pernikahan saya hanya sebentar dan serasa sekejap pula melepaskan diri dari kesibukan rutin itu. Baru dua tahun kami menikah, dan baru dikaruniai seorang anak, suami tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Tinggallah saya dan anak dalam kebingungan.
Karena saya harus menghidupi anak, dengan rasa berat, anak yang baru berumur setahun itu saya titipkan pada ibu. Dan saya kembali menjadi seorang pembantu. Di tempat inilah lima tahun kemudian saya berkenalan dengan seorang pria. Kemudian dia menjadi suami kedua saya. Namun, pernikahan kedua ini hanya menambah daftar penderitaan dalam hidup saya. Baru saya ketahui beberapa bulan kemudian bahwa ia seorang pemabuk. Ketika saya akan melahirkan anak pertama kami, ia mengaku sudah mempunyai anak istri. Ia menjadikan saya istri mudanya, dengan dalih sedang mendapat sakit hati dari istri tuanya. Saya sangat kaget. Walaupun seorang janda yang miskin, saya tak akan rela dijadikan istri muda dan tak akan tega pula merusak rumah tangga orang lain. Saya tidak menyangka ia berkeluarga, karena selama bertahun-tahun tak pernah ada wanita lain yang menggugat keberadaan suami saya di sini. Bahkan, saya hanya diperkenalkan pada seorang kakaknya, dari sekian banyak saudara kandungnya yang lain. Kakaknya pun diancam untuk tidak memberitahukan saya bahwa ia sudah berkeluarga.
Setelah itu, hari-hari buruk yang panjang dan melelahkan harus saya lalui. Beberapa bulan setelah anak kami lahir, suami kembali kepada istri tuanya. Ia pergi begitu saja, tanpa meninggalkan apa-apa. Saya dibiarkannya dalam status mengambang, janda bukan istrinya pun bukan. Ia tak pernah memberi nafkah pada saya dan anak kami. Tetapi juga tak pernah menceraikan saya.
Kembalilah saya bergelut dengan abu dapur dan buih sabun, dalam kehidupan yang rutin. Anak yang baru setahun pun terpaksa saya titipkan pada ibu. Alangkah pedihnya hati didera rindu. Saya harus berpisah dengan dua anak, si sulung enam tahun dan si bungsu satu tahun. Bila saya berkesempatan pulang dan bertemu mereka, si kecil sering menanyakan ayahnya. Mungkin ia sudah mulai mengerti mengapa anak lain punya ayah, ia sendiri tidak. Saya terpaksa berbohong dengan menyebutkan ayahnya bekerja jauh di rantau. Waktu itu ia tampak puas, tetapi di lain hari ia akan bertanya lagi lebih gencar.
Si kecil ini pintar sekali. Suatu kali ia mengajak saya menemui ayahnya di rantau. Saya tak mau mengemis hanya untuk kebahagiaan anak sesaat. Saya akan semakin sakit hati bila bertemu dengannya, meskipun dia ayah kandung anak saya. Entah sampai kapan saya harus membohonginya. Saya tidak menyangka anak-anak yang saya lahirkan mengalami nasib yang sama, tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya. Mereka seperti yatim piatu, karena hanya hidup bersama neneknya. Itu pun dalam keadaan serba kekurangan. Gaji saya yang Rp 250.000,00 per bulan, saya kirimkan ke kampung, namun hanya cukup untuk makan sekali sehari. Anak-anak saya hidup dalam rumah yang belum diterangi listrik. Satu-satunya rumah di kampung kami yang masih menggunakan lampu tempel. Itu pun kalau ada minyak tanah. Bila tidak ada, tidurlah ibu dan kedua anak saya dalam kegelapan. Belum lagi esok harinya mereka harus menahan lapar, karena persediaan makanan yang amat terbatas. Ya Allah, tolonglah hamba.
Saya ingin sekali hidup bersama mereka, seandainya punya modal untuk berjualan kue atau nasi kuning di kampung. Mungkin saya tetap punya penghasilan tanpa harus meninggalkan ibu dan dua anak saya di kampung. Kadang saya juga berangan-angan, ada dermawan yang mau menjadikan saya pembantu, dan boleh membawa serta kedua anak saya untuk menjadi anak asuhnya.
Pikiran Rakyat, Edisi Minggu, 28 Agustus 2005
Renungan :
Diluar sana, masih banyak lagi “Asih Sediasih” yang lain. Bergumul dengan tantangan hidupnya setiap hari tanpa pernah “menyerah”. Kita mungkin lebih “beruntung” dari dia, apakah kita sudah “bersyukur” atas anugrahNya ………… ??????? Atau mungkin ada diantara kita yang “berkecukupan” sudahkah kita menolong sesama kita ……. ??????

1 comment:

  1. masih ada yang senasib dengan asih sediasih..yang bezanya, ada yang tidak menyerah kepada nasib dan cuba mengubah nasib..ada juga yang yang terlalu menyerah kepada nasib..yang pentingnya, semoga mereka mempunyai kekuatan untuk membesarkan anak-anak mereka supaya menjadi seseorang yang berguna, tidak seperti sampah masyarakat seperti ayah mereka, dalam situasi asih sediasih ini.

    ReplyDelete